Sabtu, 04 Juli 2015

teori belajar andragogi

http://www.kompasiana.com/unik/teori-belajar-andragogi-dan-penerapannya_55008878a33311ef6f511659

Teori Belajar Andragogi
1.     Pengertian Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno: "aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan agogus yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training/Teaching).

2.     Perkembangan Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" yang diterbitkan pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan dalam kegiatan belajat adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di setup oleh sistem pendidikan, di setup oleh gurunya/pengajarnya. Apa yang dipelajari, materi yang akan diterima, metode panyampaiannya, dan lain-lain, semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi adalah manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki keunikan, yang memiliki talenta, memiliki minat, memiliki kelebihan, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplorasi dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki kelebihan, yakni di dalam menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi  persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif. Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari ‘yang obyektif’, melalui pengamatan atas kenyataan. Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah). Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan sekalian.
  
3.     Asumsi-Asumsi Pokok Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles (1970) dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
a.    Konsep Diri: Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
b.    Peranan Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
c.     Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
d.    Orientasi Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
4.     Andragogi dan Psikologi Perkembangan
Seperti telah disebutkan di atas bahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan.
Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa pemuda (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan "pengertian diri" (sense of identity).
Pembelajaran yang diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih, pengajar, penatar, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada hakikatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Oleh karena sifat belajar bagi orang dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbingnya, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah terwujud.
Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll).
Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadinya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan psikologis, dan psikis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan dapat diciptakan.
Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikkan bahwa orang dewasa belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.
Pada akhirnya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan.

5.      Pengaruh Penurunan Faktor Fisik dalam Belajar
Proses belajar manusia berlangsung hingga ahkir hayat (long life education). Namun, ada korelasi negatif antara pertambahan usia dengan kemampuan belajar orang dewasa. Artinya, setiap individu orang dewasa, makin bertambah usianya, akan semakin sukar baginya belajar (karena semua aspek kemampuan fisiknya semakin menurun). Misalnya daya ingat, kekuatan fisik, kemampuan menalar, kemampuan berkonsentrasi, dan lain-lain semuanya memperlihatkan penurunannya sesuai pertambahan usianya pula. Menurut Lunandi (1987), kemajuan pesat dan perkembangan berarti tidak diperoleh dengan menantikan pengalaman melintasi hidup saja. Kemajuan yang seimbang dengan perkembangan zaman harus dicari melalui pendidikan. Menurut Verner dan Davidson dalam Lunandi (1987) ada enam faktor yang secara psikologis dapat menghambat keikutsertaan orang dewasa dalam suatu program pendidikan:
a.      Dengan bertambahnya usia, titik dekat penglihatan atau titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas mulai bergerak makin jauh. Pada usia dua puluh tahun seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada jarak 10 cm dari matanya. Sekitar usia empat puluh tahun titik dekat penglihatan itu sudah menjauh sampai 23 cm.
b.      Dengan bertambahnya usia, titik jauh penglihatan atau titik terjauh yang dapat dilihat secara jelas mulai berkurang, yakni makin pendek. Kedua faktor ini perlu diperhatikan dalam pengadaan dan pengunaan bahan dan alat pendidikan.
c.      Makin bertambah usia, makin besar pula jumlah penerangan yang diperlukan dalam suatu situasi belajar. Kalau seseorang pada usia 20 tahun memerlukan 100 Watt cahaya, maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 Watt, dan pada usia 70 tahun seterang 300 Watt baru cukup untuk dapat melihat dengan jelas.
d.      Makin bertambah usia, persepsi kontras warna cenderung ke arah merah daripada spektrum. Hal ini disebabkan oleh menguningnya kornea atau lensa mata, sehingga cahaya yang masuk agak terasing. Akibatnya ialah kurang dapat dibedakannya warna-warna-warna lembut. Untuk jelasnya perlu digunakan warna-warna cerah yang kontras utuk alat-alat peraga.
e.      Pendengaran atau kemampuan menerima suara mengurang dengan bertambahnya usia. Pada umumnya seseorang mengalami kemunduran dalam kemampuannya membedakan nada secara tajam pada tiap dasawarsa dalam hidupnya. Pria cenderung lebih cepat mundur dalam hal ini daripada wanita. Hanya 11 persen dari orang berusia 20 tahun yang mengalami kurang pendengaran. Sampai 51 persen dari orang yang berusia 70 tahun ditemukan mengalami kurang pendengaran.
f.       Pembedaan bunyi atau kemampuan untuk membedakan bunyi makin mengurang dengan bertambahnya usia. Dengan demikian, bicara orang lain yang terlalu cepat makin sukar ditangkapnya, dan bunyi sampingan dan suara di latar belakangnya bagai menyatu dengan bicara orang. Makin sukar pula membedakan bunyi konsonan seperti t, g, b, c, dan d.

6.      Langkah-Langkah Pokok dalam Andragogi
Langkah-langkah pokok untuk mempraktikkan Andragogi adalah sebagai berikut:
a.      Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif: Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
1)     Pengaturan Lingkungan Fisik: Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin:
a)     Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa;
b)     Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa;
c)     Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi social.
2)     Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologi: Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung.
a)     Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung;
b)     Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai;
c)     Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut;
d)     Mengembangkan semangat kebersamaan;
e)     Menghindari adanya pengarahan dari "pejabat-pejabat" pemerintah;
f)       Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama.
3)     Diagnosis Kebutuhan Belajar: Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar atau peserta pelatihan di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
a)     Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu;
b)     Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan;
c)     Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan;
d)     Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu.

4)     Proses Perencanaan: Dalam perencanaan pelatihan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan:
a)     Libatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain;
b)     Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan tersebut;
c)     Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan;
d)     Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.
5)     Memformulasikan Tujuan: Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
6)     Mengembangkan Model Umum: Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.
7)     Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran: Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a)     Materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan;
b)     Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis;
c)     Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta;
d)     Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.
8)     Peranan Evaluasi Pendekatan: evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
a)     Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran/pelatihan;
b)     Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (Self Evaluation);
c)     Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan;
d)     Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat;
e)     Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program;
f)       Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.

C.     Perbandingan Asumsi dan Model Pedagogi dan Andragogi
Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
·         Penentuan mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku;
·         Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi pembelajaran;
·         Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku ;
·         Adanya standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur tingkat pengetahuan;
·         Adanya batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang melibatkan elemen-elemen:
·         Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri;
·         Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif;
·         Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar
·         Merencanakan pola pengalaman belajar
·         Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai
·         Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Ini adalah model proses.
Lebih detail tentang perbedaan pedagogik dan andargogi sebagai berikut:

No
Asumsi
Pedagogik
Andragogi
1
Kosep tentang diri peserta didik
Peserta didik digambarkan sebagai seseorang yang bersifat tergantung. Masyarakat mengharapkan para guru bertanggung jawab sepenuhnya untuk menentukan apa yang harus dipelajari, kapan, bagaimana cara mempelajarinya, dan apa hasil yang diharapkan setelah selesai
Adalah suatu hal yang wajar apabila dalam suatu proses pendewasaan, seseorang akan berubah dari bersifat tergantung menuju ke arah memiliki kemampuan mengarahkan diri sendiri, namun setiap individu memiliki irama yang berbeda-beda dan juga dalam dimensi kehidupan yang berbeda-beda pula. Dan para guru bertanggungjawab untuk menggalakkan dan memelihara kelangsungan perubahan tersebut. Pada umumnya orang dewasa secara psikologis lebih memerlukan penga- rahan diri, walaupun dalam keadaan tertentu mereka bersifat tergantung.
2
Fungsi Pengalaman peserta didik
Di sini pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik tidak besar nilainya, mungkin hanya berguna untuk titik awal. Sedangkan penglaman yang sangat besar manfaatnya adalah pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari gurunya, para penulis, produsen alat-alat peraga atau alat-alat audio visual dan pengalaman para ahli lainnya. Oleh karenanya, teknik utama dalam pendidikan adalah teknik penyampaian yang berupa: ceramah, tugas baca, dan penyajian melalui alat pandang dengar.
Di sini ada anggapan bahwa dalam perkembangannya seseorang membuat semacam alat penampungan (reservoair) pengalaman yang kemudian akan merupakan sumber belajar yang sangat bermanfaat bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain. Lagi pula seseorang akan menangkap arti dengan lebih baik tentang apa yang dialami daripada apabila mereka memperoleh secara pasif, oleh karena itu teknik penyampaian yang utama adalah eksperimen, percobaan-percobaan di laboratorium, diskusi, pemecahan masalah, latihan simulasi, dan praktek lapangan.
3
Kesiapan belajar
Seseorang harus siap mempelajari apapun yang dikatakan oleh masyarakat, dan hal ini menimbulkan tekanan yang cukup besar bagi mereka karena adanya perasaan takut gagal, anak-anak yang sebaya diaggap siap untuk mempelajari hal yang sama pula, oleh karena itu kegiatan belajar harus diorganisasikan dalam suatu kurikulum yang baku, dan langkah-langkah penyajian harus sama bagi semua orang.
Seseorang akan siap mempelajari sesuatu apabila ia merasakan perlunya melakukan hal tersebut, karena dengan mempelajari sesuatu itu ia dapat memecahkan masalahnya atau dapat menyelesaikan tugasnya sehari-hari dengan baik. Fungsi pendidik di sini adalah menciptakan kondisi, menyiapkan alat serta prosedur untuk membantu mereka menemukan apa yang perlu mereka ketahui. Dengan demikian program belajar harus disusun sesuai dengan kebutuhan kehidupan mereka yang sebenarnya dan urutan-urutan penyajian harus disesuaikan dengan kesiapan peserta didik.
4
Orientasi belajar
Peserta didik menyadari bahwa pendidikan adalah suatu proses penyampaian ilmu pengetahuan, dan mereka memahami bahwa ilmu-ilmu tersebut baru akan bermanfaat di kemudian hari. Oleh karena itu, kurikulum harus disusun sesuai dengan unit-unit mata pelajaran dan mengikuti urutan-urutan logis ilmu tersebut , misalnya dari kuno ke modern atau dari yang mudah ke sulit. Dengan demikian, orientasi belajar ke arah mata pelajaran. Artinya jadwal disusun berdasarkan keterselesaian nya mata-mata pelajaran yang telah ditetapkan.
Peserta didik menyadari bahwa pendidikan merupakan suatu proses peningkatan pengembangan kemampuan diri untuk mengembangkan potensi yang maksimal dalam hidupnya. Mereka ingin mampu menerapkan ilmu dan keterampilan yang diperolehnya hari ini untuk mencapai kehidupan yang lebih baik atau lebih efektif untuk hari esok. Berdasarkan hal tersebut di atas, belajar harus disusun ke arah pengelompokan pengembangan kemampuan. Dengan demikian orientasi belajar terpusat kepada kegiatannya. Dengan kata lain, cara menyusun pelajaran berdasarkan kemampuan-kemampuan apa atau penampilan yang bagaimana yang diharap kan ada pada peserta didik.
                        Sumber: Tamat (1985: hal. 20-22)

D.         Keunggulan dan Kelemahan Teori Belajar Andragogi
Kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah ataupun luar sekolah memiliki daerah dan kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang dewasa terutama pendidikan masyarakat bersifat non formal sebagian besar dari siswa atau pesertanya adalah orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau remaja. Oleh sebab itu, kegiatan pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan menggunakan teori andragogi kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa dalam kerangka pembangunan atau realisasi pencapaian cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diperoleh dengan dukungan konsep teoritik atau penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Andragogy memiliki kelemahan, salah satunya adalah bahwa bagaimana mungkin seorang siswa yang tidak terlalu memahami tentang luasnya ilmu kemudian dibebaskan memilih apa yang mereka sukai? Seolah sistem Andragogy hanya sebagai suatu sistem yang mengembirakan siswanya saja dan melupakan untuk tujuan apa sebenarnya sebuah pendidikan itu dilakukan? Dan bagaimana pula bisa dilakukan -penjagaan terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada? jika sebuah ilmu tersebut tidak diminati oleh siswa, tentu saja satu waktu ilmu tersebut akan hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan memilih jika ada persyaratan kemampuan yang memang mesti dimiliki seandainya siswa mau belajar ilmu tertentu. Tak mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata pelaharan Integral Diferensial sebelum mereka menguasai dulu perkalian, jumlah, kurang bagi, dll.

E.     Kesimpulan
Teori Belajar Adragogi dapat diterapkan apabila diyakini bahwa peserta didik (siswa-mahasiswa-peserta) adalah pribadi-pribadi yang matang, dapat mengarahkan diri mereka sendiri, mengerti diri sendiri, dapat mengambil keputusan untuk sesuatu yang menyangkut dirinya. Andragogi tidak akan mungkin berkembang apabila meninggalkan ideal dasar orang dewasa sebagai pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Yang menjadi tolok ukur sebuah kedewasaan bukanlah umur, namun sikap dan perilaku, sebab tidak jarang orang yang sudah berumur, namun belum dewasa. Memang, menjadi tua adalah suatu keharusan dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan yang tidak setiap individu memilihnya seiring dengan semakin lanjut usianya.

Andragogi: (Masih) Sebuah Ilmu dan Seni mengajar
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, paedagogi adalah seni mengajar anak-anak. Meskipun pada perkembangannya, istilah paedagogi sering diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar/mendidik secara umum. Namun, subjek pendidikan yang ada saat ini bukan hanya anak-anak, orang dewasa juga masih memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Karakter orang dewasa pastilah berbeda dengan anak-anak. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan metode belajar/mengajar antara orang dewasa dan anak-anak. Pendekatan ini kemudian disebut dengan “andragogi” yang berasal dari kata “andra” yang berarti orang dewasa. Andragogi berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengarahkan orang dewasa dan berbeda dengan istilah yang lebih umum digunakan, yaitu pedagogi yang asal katanya berarti mengarahkan anak-anak.



Andragogi terdiri dari strategi belajar yang terfokus pada orang dewasa. Hal ini sering diartikan sebagai proses melibatkan siswa atau pembelajar dewasa dengan struktur belajar pengalaman. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Alexander Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan teori pendidikan dari Plato, kemudian dikembangkan menjadi sebuah teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Malcolm Knowles. Dalam andragogi, mendidik bukan berarti menggurui, bukan mengisi mereka dengan pengetahuan tapi sebagai bentuk kerjasama saling meningkatkan pengetahuan, dan menempatkan orang dewasa sebagai subjek bukan objek. Andragogi mempelajari sifat fisik, psikis dan karakter orang dewasa.

Semula cara mendidik orang dewasa disamakan dengan cara mendidik anak-anak di bangku pendidikan formal (pedagogi). Akan tetapi, terdapat perbedaan penting antara orang dewasa dan anak-anak, sehingga andragogi terpisah menjadi ilmu sendiri. Untuk dapat lebih memperjelas pemahaman mengenai andragogi, dapat dilihat pada perbedaan mendasar antara asumsi yang dibangun dalam andragogi dengan yang  dibangun dalam paedagogi:

Asumsi
Paedagogi
Andragogi
Konsep diri
·        Konsep diri anak adalah bahwa ia bergantung pada orang lain.
·        Hubungan lebih didominasi oleh pendidik yang bersifat mengatur
·        Orang dewasa biasanya telah memiliki rasa tanggung jawab, memilih untuk independen dan mandiri.
·        Hubungan pendidik dan peserta didik adalah saling membantu.
Pengalaman
·        Komunikasi cenderung searah, karena anak masih memiliki sedikit pengalaman sehingga perlu ‘diisi’ pengalaman baru oleh pendidik.
·        Teknik komunikasi dua arah.
·        Orang dewasa lebih banyak memiliki pengalaman. Pengalaman dinilai sebagai sumber belajar yang baik "Experiential Learning Cycle".
Arah/orientasi belajar
·        Belajar merupakan penyimpulan informasi yang dipelajari sekarang namun digunakan pada suatu hari kelak (bersifat jangka panjang).
·    Orientasi berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation).
·        Belajar adalah untuk dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera.
·        Belajar lebih dipandang sebagai pemecahan masalah daripada pemberian pelajaran. Belajar dalam andragogi adalah memecahkan persoalan ‘hari ini’ (problem centered orientation).
·        Belajar untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Kesiapan belajar (pemilihan materi pelajaran)
·        Pendidik yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihan isi pelajaran serta kapan akan diajarkan.
·        Peserta didik yang memutuskan apakah yang hendak dipelajari sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian, tugas pendidik dalam andragogi adalah sebagai fasilitator.

Maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training/Teaching).
Teori Belajar Andragogi dapat diterapkan apabila diyakini bahwa peserta didik (siswa-mahasiswa-peserta) adalah pribadi-pribadi yang matang, dapat mengarahkan diri mereka sendiri, mengerti diri sendiri, dapat mengambil keputusan untuk sesuatu yang menyangkut dirinya. Andragogi tidak akan mungkin berkembang apabila meninggalkan ideal dasar orang dewasa sebagai pribadi yang mengarahkan diri sendiri. Yang menjadi tolok ukur sebuah kedewasaan bukanlah umur, namun sikap dan perilaku, sebab tidak jarang orang yang sudah berumur, namun belum dewasa. Memang menjadi tua adalah suatu keharusan dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan yang tidak setiap individu memilihnya seiring dengan semakin lanjut usianya.


C. Langkah-langkah Pelaksanaan Andragogi 

Langkah-langkah kegiatan dan pengorganisasian program pendidikan yang menggunakan asas-asas pendekatan andragogi, selalu melibatkan tujuh proses sebagai berikut : 

1. Menciptakan iklim untuk belajar 
2. Menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu 
3. Menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan dan nilai-nilai 
4. Merumuskan tujuan belajar 
5. Merancang kegiatan belajar 
6. Melaksanakan kegiatan belajar 
7. Mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan dan pencapaian nilai-nilai. 

Andragogi dapat disimpulkan sebagai : 

1. Cara untuk belajar secara langsung dari pengalaman 
2. Suatu proses pendidikan kembali yang dapat mengurangi konflik-konflik sosial, melalui kegiatan-kegiatan antar pribadi dalam kelompok belajar itu 
3. Suatu proses belajar yang diarahkan sendiri, dimana kira secara terus menerus dapat menilai kembali kebutuhan belajar yang timbul dari tuntutan situasi yang selalu berubah. 

D. Prinsip-prinsip Belajar untuk Orang Dewasa 

1. Orang dewasa belajar dengan baik apabila dia secara penuh ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan 
2. Orang dewasa belajar dengan baik apabila menyangkut mana yang menarik bagi dia dan ada kaitan dengan kehidupannya sehari-hari. 
3. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila apa yang ia pelajari bermanfaat dan praktis 
4. Dorongan semangat dan pengulangan yang terus menerus akan membantu seseorang belajar lebih baik 
5. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila ia mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuannya, kemampuannya dan keterampilannya dalam waktu yang cukup 
6. Proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lalu dan daya pikir dari warga belajar 
7. Saling pengertian yang baik dan sesuai dengan ciri-ciri utama dari orang dewasa membantu pencapaian tujuan dalam belajar. 

E. Karakteristik Warga Belajar Dewasa 

1. Orang dewasa mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda 
2. Orang dewasa yang miskin mempunyai tendensi, merasa bahwa dia tidak dapat menentukan kehidupannya sendiri. 
3. Orang dewasa lebih suka menerima saran-saran dari pada digurui 
4. Orang dewasa lebih memberi perhatian pada hal-hal yang menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannya 
5. Orang dewasa lebih suka dihargai dari pada diberi hukuman atau disalahkan 
6. Orang dewasa yang pernah mengalami putus sekolah, mempunyai kecendrungan untuk menilai lebih rendah kemampuan belajarnya 
7. Apa yang biasa dilakukan orang dewasa, menunjukkan tahap pemahamannya 
8. Orang dewasa secara sengaja mengulang hal yang sama 
9. Orang dewasa suka diperlakukan dengan kesungguhan iktikad yang baik, adil dan masuk akal 
10. Orang dewasa sudah belajar sejak kecil tentang cara mengatur hidupnya. Oleh karena itu ia lebih suka melakukan sendiri sebanyak mungkin 
11. Orang dewasa menyenangi hal-hal yang praktis 
12. Orang dewasa membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat akrab dan menjalon hubungan dekat dengan teman baru. 

F. Karakteristik Pengajar Orang Dewasa 

Seorang pengajar orang dewasa haruslah memenuhi persyaratan berikut : 

1. Menjadi anggota dari kelompok yang diajar 
2. Mampu menciptakan iklim untuk belajar mengajar 
3. Mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi, rasa pengabdian dan idealisme untuk kerjanya 
4. Menirukan/mempelajari kemampuan orang lain 
5. Menyadari kelemahannya, tingkat keterbukaannya, kekuatannya dan tahu bahwa di antara kekuatan yang dimiliki dapat menjadi kelemahan pada situasi tertentu. 
6. Dapat melihat permasalahan dan menentukan pemecahannya 
7. Peka dan mengerti perasaan orang lain, lewat pengamatan 
8. Mengetahui bagaimana meyakinkan dan memperlakukan orang 
9. Selalu optimis dan mempunyai iktikad baik terhadap orang 
10. Menyadari bahwa "perannya bukan mengajar, tetapi menciptakan iklim untuk belajar" 
11. Menyadari bahwa segala sesuatu mempunyai segi negatif fan pisitif. 

PEDADOGI

Minggu, 01 Mei 2011

APA ITU PEDAGOGI ?
 
Pedagogi
yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka dengan demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Pedagogi berasal dari kata Yunani "dibayar," yang berarti anak plus "agogos," yang berarti memimpin. Oleh karena itu, pedagogi telah didefinisikan sebagai seni atau pengetahuan membimbing,memimpin atau mengajar anak.  

Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan hingga sekarang, banyak praktek proses belajar dalam suatu pendidikan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan bagi orang dewasa.  

Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training / Teaching)  

Menurut Hewett LL.D, bahwa pedagogi lebih dari sekedar ilmu dan seni mengajar. Pedagogi berkenaan dengan upaya membawa anak-anak dan memimpin mereka untuk mencapai suatu tujuan yang ideal, di sini tujuan idealnya adalah kelaki-lakian dan keperempuanan yang bermartabat. Tujuan pendidikannya idealistik. Realitas pendidikan, situasi pendidikan, selalu berhubungan dengan tujuan-tujuan idealistik, baik yang individual ataupun masyarakat/bangsa.

Pedagogi bertujuan agar anak di kemudian hari mampu memahami dan menjalani kehidupan dan kelak dapat menghidupi diri mereka sendiri, dapat hidup secara bermakna, dan dapat turut memuliakan kehidupan.
Dalam model pedagogi, guru memiliki tanggung jawab penuh untuk membuat keputusan tentang apa yang akan dipelajari, bagaimana akan dipelajari, ketika akan dipelajari, dan jika materi telah dipelajari. Pedagogi, atau instruksi guru-diarahkan seperti yang umumnya dikenal, tempat siswa dalam peran tunduk membutuhkan ketaatan dengan instruksi guru. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik hanya perlu mengetahui apa guru mengajarkan mereka. Hasilnya adalah situasi pengajaran dan pembelajaran yang aktif mempromosikan ketergantungan pada instruktur (Knowles, 1984).
 
 Pedagogi memiliki arti 3 hal sebagai berikut :
1.INSTRUKSI
2.PENDIDIKAN: seni, ilmu pengetahuan, atau profesi mengajar, terutama: penelitian yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode dalam pendidikan formal
3.SEKOLAH: tempat instruksi

Ciri-ciri Pedagogik Transformatif
Beberapa prinsip pokok sebagai ciri pedagogik transformatif dapat dikemukakan sebagai berikut.
a.    Mengkaji proses pendidikan yang normatif
Mendidik adalah suatu proses. Kajian pedagogik transformatif tidak cukup berhenti pada hakikat proses pendidikan (what it is), tetapi juga harus diperkuat ke arah mana proses pendidikan diarahkan. Pedagogik transformatif adalah pedagogik normatif yang tidak sekedar mendeskripsikan tetapi ingin menunjukkan tentang perlu dan harusnya mencapai sesuatu yang ideal, sesuatu yang jika dilihat atau diuji dari dimensi nilai hidup memang baik. Sesuatu disebut normatif baik, jika memuat; (1) nilai hidup yang diterima sebagai sesuatu yang baik, (2) perkembangan individu yang menurut hakikatnya baik, dan (3) alat untuk mencapai tujuan yang baik (Munghadjir, 1993:2).

b.    Proses pendidikan adalah proses individuasi
Pedagogik transformatif mencermati bagaimana seorang manusia yang unik mengembangkan dirinya untuk memperoleh identitasdirinya. Oleh karena manusia adalah mahluk sosial, proses pendidikan sebagai proses individuasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial dan kebudayaan di mana ia hidup.

c.    Pengembangan Identitas individu
Manusia adalah mahluk yang unik, individu yang otonom dengan memiliki berbagai potensi. Orientasi perkembangan individu adalah menemukan identitas, menjadi seseorang, menjadi individu, menjadi aku yang otonom.  Proses mencari dan mengembangan ke-aku-an seseorang, adalah bagian dari proses individuasi. Pedagogik transformatif memandang bahwa peserta didik bukanlah seseorang yang hanya menerima segala sesuatu dari luar seperti program yang disajikan oleh sekolah, oleh orang tua, dan oleh masyarakat. Segala sesuatu yang datang dari luar akan doproses oleh individu, diramu secara otonom dengan dasar potensi yang dimiliki. Pendidik dan orang tua hanya akan memberikan masukan dan bimbingan serta kesempatan kepada individu untuk memilih dan kemudian mengambil keputusan. Proses mencari identitas bukan berarti eksklusivitas, tetapi justru untuk berinteraksi dengan aku-aku lain sehingga mampu mengembangkan inklusivitas. Pedagogik transformatiaf adalah pengembangan sikap inklusif.

d.    Pedagogik transformatif adalah pedagogik komunikatif.
Pedagogik transforamtif memandang proses belajar sebagai proses komunikatif antara ”aku” dengan ”aku yang lain”, dan antara ”aku” dengan dunia kehiupan. Belajar marupakan proses aktif, proses petualangan yang tidak hanya menerima dari apa yang diberikan oleh pihak lain, tetapi lebih merupakan proses mencari dan menemukan.

e.    Pedagogik transformatif adalah pedagogik dialogis
Pedagogik transforamtif memandang proses pengembangan identitas seseorang tidak terjadi di ruang yang kosong, tetapi di dalam kegiatan yang dialogis. Tindakan dialogis adalah tindakan partisipatif. Proses pengembangan identitas adalah tindakan partisipatif peserta didik terhadap pendidik, terhadap ”aku” yang lain, maupun terhadap objek realitas tertentu. Melalui dialog partisipatif, arah pengembangan identitas peserta didik menjadi lebih kongkrit, lebih terarah, dan saling memperkaya antara satu dengan yang lain.

f.    Pedagogik transformatif berorientasi ke masa depan
Sejalan dengan perluasan dunia, orientasi kehidupan secara bertahap menjadi semakin luas dan lebih mendalam. Orientasi ke masa depan berarti menyusun tindakan dan pengalaman “aku” yang sedang berpartisipasi dan membangun identitas, memilih nilai-nilai masa depan yang sesuai dengan arah hidupnya. Individu yang berorientasi pada masa depan tentu tidak puas dengan realitas yang dihadapi, tetapi akan selalu dipersoalkan dan dikaji untuk dikemabangkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik. Berorientasi kepada masa depan tidak  berarti hanya berandai-andai yang tidak jelas, tetapi berpikir pada kemungkinan-kemungkinan yang terarah.

g.    Pedagogik transforamtif mengakomodasi hak azasi manusia
Pedagogik transforamtif memandang situasi pedagogis sebagai pertemuan antar pribadi. ”Aku” dan ”aku yang lain” adalah otonom dengan memiliki enegi yang sama. Di dalam hubungan dialogis antara keduanya terjadi perkembangan kepribadian masaing-masing, eksistensi seseorang tidak menghilangkan eksistensi yang lain, tetapi justru saling berhubungan dan saling memperkaya satu dengan yang lain. Masing-masing individu mengakui otonomi individu yang lain, dengan demikian hak asasi manusia merupakan ciri eksistensi manusia dalam bereksistensi.



h.    Pedagogik transformatif bertolak dari lingkungan proksimatif
Anak manusia lahir di dalam lingkungan kemanusiaan dan dunia kehidupan, artinya bahwa manusia lahir tidak dalam keadaan terisolasi. Dunia proksimatif adalah dunia manusia sosial dan kebudayaan. Anak manusia dibesarkan di dalam lingkungan sosial budaya yang konkrit (social and cultural embedded), itu berarti bahwa pertemuan dialogis, termasuk di dalamnya proses pembelajaran barus bertolak dari lingkungan proksimatif, lingkungan terdekat peserta didik.

i.    Proses perkembangan dari dalam ke luar (DL)
Pedagogik transformatif berangkat dari ”aku” yang otonom dan yang magmatik mempradugakan adanya kekuatan yang berasal dari dalam diri individu. Proses individuasi pada hakikatnya adalah suatu kekuatan dari dalam menuju ke luar melalui dialog dengan ”aku” yang lain dan dunia kehidupan. Proses perkembangan diri dari dalam ke luar mengarahkan pada pewujudan potensi yang ada dalam diri ”aku”. Dengan demikian proses pendidikan harus menampung aktivitas dan kreativitas individu yang keluar dari dalam ”aku”, dan perlu dibimbing agar kekuatan yang dari dalam itu mempunyai arah yang jelas.

j.    Proses perkembangan dari luar ke dalam (LD)
Di samping kekuatan dari dalam, perkembangan individu dalam partisipasinya dengan ”aku” lain, dunia proksimatif, dan dunia kehidupan yang lebih luas, ”aku” menghadapi berbagai pilihan yang disediakan oleh realitas kehidupan. Pendidikan tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar itu, pendidikan harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan itu untuk dimanfaatkan atau secara partisipatif menolak pengaruh yang merugikan proses individuasi secara keseluruhan.

k.    Harmonisasi antara kekuatan dari dalam (DL) dan kekuatan dari luar (LD)
Pedagogik transformatif menguapayakan agar di dalam proses individuasi, terjadi sinergi yang menguntungkan antara kekuatan dari dalam dan kekuatan dari luar. Sinergetika ini hanya dimungkinkan jika ada pengakuan terhadap otonomi dari ”aku”  dan ”aku yang lain”, serta proses dialog dalam menentukan pilihan-pilihan sesuai dengan tingkat perkembangan individu yang menjadi subjek didik.

l.    Proses pendidikan adalah proses memberi makna (meaning)
Di dalam proses individuasi terjadi proses pemaknaan terhadap lingkungan melalui dialog dengan ”aku yang lain” dan dengan dunia kehidupan. Proses pendidikan adalah program meaning imposing prcess, berbagai tindakan pendidikan merupakan proses pemaknaan terhadap sesuatu yang tidak harus berstruktur, seperti kurikulum baku, metodologi baku, aturan main yang baku dan sebagainya.

m.    Pedagogik transaformatif adalah pendidikan sepanjang hayat
Proses individuasi tidak berhenti pada suatu titik, keberadaan manusia adalah keberadaan yang menjadi. Manusia bukan suatu entity yang sudah lengkap. Di dalam proses individuasi terjadi harmonisasi antara mencari identitas dan partisipasi dalam kehidupan. Proses ini mengambil bentuk identitas yang semakin lama semakin solid, semakin mantap, dengan proses partisipasi yang semakin luas sejalan meluasnya dunia kehidupan seseorang. Proses ini berlangsung sepanjang hayat, bahkan seorang pendidik pun secara terus menerus mengubah dirinya, ikut serta dalam mengubah masyarakat sekitar, mengubah dunia kehidupan, dan juga sebaliknya juga mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri.

n.    Proses pendidikan adalah proses humanisasi
Pedagogik tranforamtif adalah pedagogik humanistik, melihat manusia sebagai mahluk yang berubah dengan mempunyai tujuan tertentu. Perkembangan manusia hanya dapat terjadi di dalam pertemuannya dengan sesama manusia menuju kepada tindakan untuk memanusiakan ”akunya” dan ”aku yang lain” maupun dunia kehidupannya. Pedagogik transformatif mengakui kebebasan manusia, tetapi kebebasan yang bertangungjawab, memandang manusia sebagai sesama manusia.

o.    Pedagogik transforamtif berorientasi sebagai pedagogik kritis
Pedagogik transforamtif bukanlah pedagogik dogmatis, tetapi mengakui adanya otonomi individu yang tengah berproses mencari identitas melalui partisipasi aktif dalam komunikasinya dengan ”aku yang lain” dan duniak kehidupan yang terus berubah. Pedagogik transformatif tidak bertolak dari dogma-dogma yang ada atau paradigma yang dianggap sebagai suatu ketentuan, tetapi memandang realitas adalah dunia yang terus berubah oleh karena partisipasi ”aku” dan ”aku yang lain”. Sikap terus-menerus mempertanyakan keberadaan atau realitas mengarahkan pada perwujudan pedagogik transformatif sebagai pedagogik kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar